Sebelum merayakan Natal, umat Katolik mempersiapkan lahir dan batin selama 4 Minggu dengan ibadat yang dinamakan “Ibadat Adven”. Masa adven merupakan masa penantian, sehingga dalam penantian ini kita diharapkan menyiapkan anggota keluarga kita baik secara batin hingga lahir untuk bersyukur dan bertobat seperti tertulis dalam injil Lukas 21:28 “Bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatmu sudah dekat”. Dalam masa adven ini kita semua diajak semakin bertobat dan mengutamakan pendidikan hati nurani untuk membangun kesadaran agar hidup kita semakin cerdas dan berselaras sebagai warga negara dan bangsa untuk mewujudkan manusia yang adil dan memiliki peradaban kasih dengan membangun sikap jujur, disiplin, mandiri, kritis dan peduli. Untuk mencapai cita-cita tersebut kita semua diajak untuk terlibat melalui berbagai cara mulai dari yang paling sederhana di dalam keluarga kita masing-masing untuk perlu menjauhkan diri dari sikap-sikap negatif tentang orang lain atau kelompok lain dan tindakan diskriminatif serta egosentris. Sebaliknya sebagai umat manusia yang di limpahi akal budi yang sehat kita perlu meningkatkan diri dalam usaha-usaha mewujudkan persaudaraan sejati, kerjasama antar agama untuk kepentingan masyarakat serta gerakan lain yang membawa kesejahteraan dan keadilan bagi banyak orang misal : Gerakan Aksi Puasa Pembangunan, karya-karya sosial untuk orang miskin, tanggap darurat bencana dll. Kesejahteraan hati Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja – Geraja Indonesia (PGI) telah menetapkan bersama tema natal tahun 2017 : “Damai sejahtera Kristus benar benar memerintah dalam hati kita”(Kolose 3:15). Dalam tema ini para pimpinan gereja mengajak seluruh umat manusia Indonesia untuk semakin inklusif (terbuka) dan mewujudkan komitmen sebagai manusia Indonesia yakni menjadi pembawa damai dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kelahiran Yesus ke dunia sebagai janji Allah kepada manusia untuk menunjukkan betapa kasih Tuhan menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Tema natal tahun ini sangatlah tepat dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia, saat ini kita banyak mengalami berbagai situasi yang mengubah wajah Indonesia sebagai bangsa yang selalu mengedepankan keluhuran budi dan kesejahteraan hati, akhir-akhir ini berubah menjadi bangsa yang semakin melupakan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna ternyata sekarang menjadi ciptaan Tuhan yang berkuasa dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan diri. Saat ini sebagai bangsa Indonesia kita sedang cemas. Persatuan Indonesia seperti yang tertulis dalam Sila ke 3 Pancasila sedang terancam perpecahan, karena ada pihak pihak yang secara tersamar dan terang terangan ingin menghancurkan dan mengganti Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Cita cita bangsa Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 untuk menciptakan persatuan, keadilan sosial dan perdamaian kesejahteraan hati haruslah lebih diperjuangkan terus secara bersama sama oleh bangsa Indonesia dari berbagai suku, agama dan etnis yang hidup di bumi Indonesia tercinta. Hidup Bersama dalam Keugaharian Kalau kita renungkan dan amati mulai dari Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI), Masa Adven dan tema Natal tahun 2015 yang lalu “Keluarga” mendapatkan perhatian yang sangat besar. Hal ini bukanlah sebuah kebetulan tetapi Gereja Indonesia merasakan pentingnya dimunculkan tentang kehidupan bersama dalam keluarga, karena kehidupan bangsa dan negara itu awalnya terpusat dari situasi dan kondisi keluarga masing-masing. Bangsa Indonesia mempunyai budaya yang luhur dan dijunjung tinggi saat ini yaitu gotong royong yang sampai sekarang masih terus dilestarikan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Karena kehidupan yang dijalani oleh umat manusia dewasa ini bersifat misioner artinya bahwa kehidupan ini ditujukan untuk berbuat baik dan bermakna bagi sesama manusia. Untuk mengusahakan hidup yang misioner maka dalam masing-masing keluarga harus mengusahakan dengan perencanaan hidup yang lebih baik, tanggungjawab sosial yang tinggi, kematangan hidup, keterbukaan dan kerjasama dengan siapapun juga secara terbuka. Bangsa Indonesia kedepan akan menjadi semakin baik jika keluarga-keluarga telah mempersiapkan para generasi muda dibekali dengan pendidikan-pendidikan yang menyentuh hati nurani. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga perlu dibangun dan dihidupkan sikap “Ugahari” atau kesederhanaan, secukupnya, sakmadya memiliki konotasi moral sebagai sebuah sikap hidup. Sikap hidup itu adalah sebuah pilihan pribadi yang merdeka-otonomi-mandiri, maka ugahari merupakan sebuah sikap yang dipilih bukan karena keterpaksaan. Sikap ugahari juga mengandung unsur asketis atau mati raga (Theodorus Sudimin dan Yoh. Gunawan, 2015). Uskup pertama KAS Mgr. Alb. Soegijapranata, SJ dalam ceramah pembukaan “ Pertemuan Panitya Sosial Para Wali Gereja Indonesia” di Yogyakarta 11-16 Agustus 1957 mengatakan bahwa….dengan hidup jang sederhana, bersahadja dan beruga-hari, dengan bekerja jang keras, golongan katolik patutlah merupakan golongan jang ekonomist dapat berdiri sendiri, mampu memenuhi keperluan hidup perseorangan dan bersama tiada dengan sokongan dari mana dan dari siapapun djuga, tak tertekan oleh perasaan hutang piutang”. Jika masing-masing keluarga yang hidup di bumi Indonesia ini benar-benar mendalami dan memperjuangkan kehidupan bersama dalam keluarga dengan keugaharian, niscaya dalam keluarga-keluarga akan menghasilkan anak-anak yang kelak menjadi pewaris bangsa ini akan mempunyai keutamaan hidup dan sikap hidup dengan kesederhanan, kemandirian dan kemerdekaan sebagai salah satu sikap moral yang mempunyai fungsi menjadi perisai hidup dalam menghadapi kenikmatan dan kesenangan yang bersifat duniawi seperti materialistik dan hedonis serta korupsi. Semoga keluarga-keluarga di bumi Indonesia ini semakin mampu menghidupkan kebersamaan dalam keugaharian atau kesederhanaan untuk menghadapi perkembangan jaman yang telah dikuasai oleh gaya hidup kemewahan dan bercorak materialistik. Selamat Natal. Ign. Dadut Setiadi Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi dan Anggota The Soegijapranata Institute Unika Soegijapranata Semarang (►Tribun Jateng 23 Desember 2017) Kategori: Media Cetak, Tulisan
Harta adalah satu satu rezeki yang Allah titipkan kepada hambanya untuk dikelola dengan baik dan benar. Tak jarang beberapa orang tatkala diberikan harta yang berlimpah kurang tepat dalam membelanjakannya sehingga terkesan berlebih-lebihan dan sia-sia. Bahkan, ada beberapa orang yang secara ekonomi tidak terlalu baik tetapi karna menuruti gengsi sehingga dia membelanjakan hartanya tanpa memperdulikan prioritas. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?. Rasulullah saw telah memberikan nasehat kepada umatnya, sebagaimana dalam sebuah riyawat hadis Rasulullah saw bersabda: كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا غَيْرَ مَخِيلَةٍ وَلَا سَرَفٍ وَقَالَ يَزِيدُ مَرَّةً فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kalian dengan tidak merasa bangga dan sombong serta berlebih-lebihan.” Kesempatan lain Yazid berkata: “dengan tidak isrof (berlebihan), dan tidak sombong.” (HR Ahmad). Ibnu Abbas pernah berkata “makanlah,minumlah,dan berpakaianlah dengan segala yang kamu inginkan! Dengan dasar jangan sampai ada dua perkara yaitu berlebihan dan sombong. diantara karakteristik berlebihan adalah ketika seseorang berpakaian, minum, dan makan apa yang tidak ada di sekitarnya. Menurut kami perkataan “yang tidak ada sekitarnya” adalah imlpikasi akan ketidak punyaan. Jadi pendapat ini merupakan anjuran untuk meninggalkan sikap konsumtif dengan cara qanaah atau menerima apa adanya. Pendapat yang lain menyambungkannya dengan zuhud, karena zuhud hakikatnya merupakan mencegah dari kemaksiatan dan dari sesuatu yang melebihi keperluan (konsumtif). Adapun zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dan segala kenikmatannya, dengan lebih mengutamakan kehidupan akhirat. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa zuhud merupakan pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik. Adapun Imam al-Qusyairi mengartikan zuhud ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan yang ada di tangan. Pengertian mengenai zuhud tersebut sesuai dengan hadis di atas yang mana Rasulullah saw memberikan peringatan kepada umatnya agar dalam menghadapi dunia dan membelanjakan harta tetap pada batas yang normal dan tidak cenderung sombong serta berlebih-lebihan. Sifat konsumtif dalam hadis di atas diungkapkan dengan lafaz “isrof”. Hal ini sedana dengan firman Allah Ta’ala dalam Q.S al-Isra’: 26-27, yaitu: وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27) “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26) Sesungguhnya orang-orang yang pemboros adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (27).” Ibnu Asyur dalam kitabnya at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan bahwa arti tabdzir sama dengan isrof yaitu membelanjakan harta dengan tidak tepat sasaran. Lebih luas lagi tabdzir memiliki dua macam makna, yaitu membelanjakan harta di jalan keburukan atau kemaksiatan walaupun hanya sedikit dan membelanjakan harta dalam perkara yang mubah (boleh) tetapi berlebih-lebihan atau boros (konsumtif). Perlu diperhatikan bahwa tidak ada tabdzir atau isrof dalam hal kebaikan. Sebagaimana dijelaskan Imam ath-Thabari dalam tafsirnya mengkutip pendapat Mujahid bahwa walaupun seseorang menginfakkan seluruh hartanya di jalan kebaikan maka itu tidak dikatakan tabdzir/isrof. Dalam membelanjakan harta perlu memperhatikan aspek prioritas yakni kebutuhan yang sifatnya primer (Dharuriyat), sekunder (Hajiyat) dan tersier (Tahsiniyat), agar kebutuhan dapat terpenuhi sesuai dengan urutannya dan tetap tidak berlebih-lebihan. Adapun menurut pandangan Ekonomi, konsumtif adalah gaya hidup yang membelanjakan uangnya pada hal yang tidak perlu, pada kebutuhan-kebutuhan imajiner. Menurut pandangan Psikologi, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang sakit atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan, pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Merujuk pada pengertian konsumtif di atas bahwa perilaku konsumtif berusaha menjelaskan kenginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Seseorang dapat dikatakan konsumtif apabila seseorang tersebut melakukan hal-hal sebagai berikut: pemborosan, inefisiensi biaya, mengikuti mode dan mengharap pengakuan sosial. Kesimpulannya adalah bahwa perilaku konsumtif atau berlebih-lebihan yang dalam bahasa al-Qur’an dan Hadis disebut sebagai tabdzir/isrof adalah sesuatu yang haram. Bahkan, pelaku tabdzir/isrof oleh al-Qur’an disebut sebagai teman setan. Walaupun harta yang kita dapatkan berasal dari cara yang halal, akan tetapi cara membelanjakan harta tetap harus di jalan yang benar. Belanjakanlah harta untuk memenuhi kebutuhan hidup, janganlah berlebih-lebihan di dalamnya dan jangan merasa sombong serta angkuh dengan harta yang dimiliki. Pada hakikatnya orang kaya ialah orang yang sedikit kebutuhannya dan kekayaan yang hakiki adalah mencukupkan dengan apa yang ada. Rasulullah saw bersabda: “Qana’ah itu adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap.” (HR Thabrani). Alfandi Ilham S.Ag |